Senin, 27 Juli 2009

Gingiva Pada Pubertas

Pubertas sering disertai dengan meningkatnya respon gingival terhadap iritasi local. Gejala inflamasi yaitu warna merah kebiruan, odema, dan pembesaran dihasilkan dari factor local yang merupakan respon ringan gingival.
Sebagai pendekatan terhadap orang dewasa, keparahan rekasi gingival berkurang, pengembalian menuju ke normal membutuhkan penghilangan factor tersebut. Meskipun prevalensi dan keparahan penyakit gingival meningkat seiring dengan pubertas, gingivitis bukan merupakan kejadian yang universal selama periode ini, dengan oral hygiene yang baik, maka hal tersebut dapat dicegah.

Perubahan Gingiva yang berhubungan dengan siklus menstruasi
Seperti gejala yang umum, siklus mentruasi tidak disertai dengan perubahan gingival, tetapi pada keadaan tertentu hal tersebut dapat terjadi. Perubahan gingival sehubungan dengan menstruasi karena ketidak seimbangan hormonal dan kadang-kadang disertai dengan riwayat disfungsi ovarian.
Selama masa menstruasi, prevalensi gingivitis meningkat. beberapa pasien mengeluhkan perdarahan pada gingival. Eksudat dari inflamasi gingival meningkat selama menstruasi, tetapi cairan gingival tidak terpengaruh. Mobilitas gigi tidak berubah secara signifikan selama siklus menstruasi. Jumlah bakteri saliva meningkat selama menstruasi dan pada ovulasi sampai hari ke-14 sebelumnya.

Penyakit Gingiva Selama Kehamilan
Perubahan gingival selama kehamilan telah dijelaskan sejak tahun 1898, bahkan sebelumnya beberapa ilmu pengetahuan tentang perubahan hormonal pada kehamilan telah ada.
Kehamilan itu sendiri tidak menyebabkan gingivitis. Gingivitis pada kehamilan disebabkan oleh bakteri plak. Kehamilan merangsang respon gingival terhadap plak dan memodifikasi resultan klinis. tidak ada perubahan yang terjadi pada gingival selama kehamilan tanpa adanya factor local.
Keparahan gingivitis meningkat selama kehamilan dimulai pada bulan kedua atau ketiga. pasien dengan gingivitis kronis sebelum kehamilan menjadi sadar terhadap gingival karena sebelumnya area yang terinflamasi menjadi membesar, odematus dan mengalami perubahan warna. Pasien dengan perdarahan gingival sebelum kehamilan menjadi perhatian terhadap meningkatnya tendensi perdarahan .
Gingivitis menjadi lebih berat pada bulan kedelapan dan menurun pada bulan ke-9, akumulasi plak mengikuti pola yang lama. Beberapa peneliti melaporkan terdapat keparahan antara trimester kedua dan ketiga. Hubungan antara gingivitis dan kuantitas plak lebih besar setelah melahirkan daripada selama kehamilan, dimana disimpulkan bahwa kehamilan membutuhkan factor lain yang merangsang respon gingiva terhadap factor local.
Insiden gingivitis selama kehamilan pada penelitian bervariasi dari 50%-100%. Kehamilan mempengaruhi keparahan dari area yang terinflamasi, tidak merubah gingival yang sehat. Mobilitas gigi, kedalaman poket, dan cairan gingival juga meningkat selama kehamilan.
Reduksi parsial pada keparahan gingivitis terjadi pada dua bulan setelah melahirkan, dan setelah satu tahun kondisi gingival dibandingkan dengan pasien yang tidak hamil. Tetapi gingival tidak kembali normal selama terdapat factor local. Pengurangan setelah kehamilan juga mobilitas gigi, kedalaman poket, dan cairan gingival. Pada pengamatan longitudinal perubahan periodontal selama kehamilan dan untuk 15 bulan setelah melahirkan, tidak ada loss of attachment signifikan yang terlihat.
Tendensi bleeding terlihat pada sebagian besar gejala klinis. Gingival terinflamasi dan bervariasi warnanya dari merah terang hingga merah kebiruan. Margin gingival dan interdental tampak odematus, pit pada fisur, terlihat halus dan mengkilat, lunak dan nampak seperti raspberry. Kemerahan yang ekstrim merupakan akibat dari vaskularisasi, dan terdapat peningkatan tendensi bleeding . perubahan gingival biasanya tanpa gejala kecuali terdapat komplikasi pada inflamasi akut. Pada beberapa kasus inflamasi gingival membentuk massa menyerupai tumor sebagai tumor pregnancy .
Gambaran mikroskopik penyakit gingival selama kehamilan merupakan inflamasi yang non spesifik, tervaskularisasi, dan inflamasi yang proloferatif. Terdapat infiltrasi sel inflamasi dengan odema disertai degenerasi epitel gingival dan jaringan ikat. Epithelium hiperplastik dengan adanya retepeg, mengurangi permukaan yang berkeratin, dan bermacam derajat intraselular dan odema ekstraselular dan infiltrasi oleh leukosit.
Kemungkinan interaksi antara bakteri-hormin dapat merubah komposisi plak dan menyebabkan inflamasi gingival belum diamati secara luas. Kornmen dan loesehe melaporkan bahwa flora subgingiva berubah menjadi anaerob selama kehamilan. Satu-satunya mikro organisme yang meningkat secara signifikan adalah P. Intermedia.
Peningkatan ini berhubungan dengan peningkatan kadar estradiol secara sistemik dan progesterone bersamaan dengan tendensi bleeding yang tinggi.Disimpulkan juga bahwa selama kehamilan, penurunan respon limfosit – T maternal mungkin merupakan factor yang dapat merubah respon jaringan terhadap plak.
Adanya gingivitis selama kehamilan dihubungkan dengan peningkatan kadar progesterone dimana menyebabkan pelebaran mikrovaskularisasi gingival, sirkulatori stasis dan meningkatnya kerentanan terhadap iritasi mekanis, semuanya menyebabkan cairan masuk ke dalam jaringan perivaskuler. Peningkatan progesterone dan estrogen terjadi selama kehamilan, dan berkurang setelah persalinan. Keparahan gingivitis bervariasi sesuai kadar hormonal selama kehamilan.
Gingiva merupakan organ target bagi hormon seks wanita. Formicola dkk, menunjukkan bahwa injeksi estradiol radioaktif terhadap tikus betina terlihat tidak hanya pada saluran genital tetapi juga pada gingival.
Disimpulkan juga bahwa terjadinya gingivitis selama kehamilan terjadi dalam dua periode : yaitu selama trimester pertama, ketika terjadi produksi gonadotropin yang berlebihan, dan selama trimester ketiga, dimana estrogen dan progesterone berada pada level tertinggi. Kerusakan sel mast pada gingival terjadi karena meningkatnya hormone seks dan resultan yang dikeluarkan oleh histamine dan enzim proteolitik yang berperan pada respon inflamasi terhadap factor local.

Kontrasepsi Hormonal dan Gingiva
Kontrasepsi Hormonal membuat respon gingival terhadap factor local sama dengan yang terlihat selama kehamilan, ketika digunakan lebih dari 1,5 tahun dapat meningkatkan kerusakan periodontal.
Meskipun beberapa merk kontrasepsi oral memproduksi perubahan dramatis daripada yang lain, tidak ada hubungan yang ditemukan pada perbedaan progesterone atau estrogen pada bermacam-macam merk tersebut. Kontrasepsi oral tidak mempengaruhi inflamasi gingival atau skor debris indeks.



Menopausal Gingivostomatitis (senile atrophic gingivitis)
Kondisi ini terjadi selama menopause atau selama periode postmenopause. Gejala yang ringan kadang-kadang terlihat, berhubungan dengan perubahan awal menopause. Menopausal Gingivostomatitis bukan merupakan kondisi yang umum. Pola tersebut digunakan untuk memperbaiki anggapan yang keliru yang bervariasi sehubungan dengan menopause. Gangguan pada rongga mulut bukan merupakan gejala yang umum dari menopause.
Gingiva dan mukosa oral tampak kering dan mengkilat, bervariasi warnanya dari pucat hingga kemerahan, dan mudah berdarah. Terdapat fisur pada mucobucal fold pada beberapa kasus dan perubahan dapat terjadi pada mukosa vagina. Pasien mengeluhkan burning sensation dan mulut kering, sehubungan dengan sensitivitas yang ekstrim terhadap perubahan termis, sensasi rasa yang abnormal yang disebut salty, peppery atau sour dan sulit memakai gigi tiruan sebagian lepasan.
Secara mikroskopis gingival menunjukkan atropi pada germinal dan prickle cell layers dari epitel dan pada beberapa kasus daerah tersebut terdapat ulserasi.
Gejala dari Menopausal Gingivostomatitis memiliki beberapa derajat perbandingan terhadap kronik desquamative gingivitis . Gejala tersebut sama dengan Menopausal Gingivostomatitis kadang-kadang terjadi setelah ovariektomi atau sterilisasi oleh radiasi pada saat terapi neoplasma ganas.

Hormon Kortikosteroid
Pada manusia, pemberian sistemik kortison dan ACTH tidak mempunyai efek terhadap insiden dan keparahan terhadap penyakit gingival dan periodontal. Tetapi transplantasi ginjal pada pasien yang menerima terapi immunosupresive (prednisone dan metilprednison dan azatioprin atau siklofosfamid) secara signifikan mengurangi inflamasi gingival daripada kelompok control dengan jumlah plak yang sama.
Pemberian kortison secara sistemik pada eksperimen binatang menyebabkan osteoporosis tulang alveolar, dilatasi kapiler dan penelanan, dengan perdarahan pada ligament periodontal dan jaringan ikat gingival, degenerasi dan reduksi serabut kolagen pada ligament periodontal dan meningkatnya destruksi jaringan periodontal sehubungan dengan inflamasi yang disebabkan oleh iritasi local.

Manifestasi Oral Diabetes

Sejumlah perubahan oral yang dijelaskan pada diabetes, termasuk cheilosis, mukosa kering dan pecah- pecah, rasa terbakar pada mulut dan lidah, berkurangnya aliran saliva, dengan spesies yang dominant yaitu Candida albicans, streptococcus hemolitikus, dan stafilokokus. Rasio meningkatnya karies gigi juga diamati pada diabetes yang tidak terkontrol. Harus diingat bahwa perubahan tidak selalu terlihat, tidak spesifik, dan tidak patognomonik untuk diabetes. Selain itu, perubahan yang diamati juga pada diabetes yang terkontrol. Individu dengan diabetes yang terkontrol memiliki respon terhadap jaringan yang normal, perkembangan gigi-geligi yang normal, dan perlawanan terhadap infeksi yang normal pula, dan tidak ada peningkatan insiden karies gigi.

Pengaruh diabetes pada jaringan periodonsium telah diamati secara keseluruhan. Meskipun sukar untuk membuat kesimpulan yang definitive tentang efek spesifik diabetes pada jaringan periodonsium, variasi perubahan telah dijelaskan termasuk tendensi pembesaran gingival, terbentuknya gingival polip, proliferasi gingival polipoid, terbentuknya abses, periodontitis dan kehilangan gigi. Perubahan yang paling parah pada diabetes yang tidak terkontrol adalah berkurangnya perlawanan terhadap dan meningkatnya kerentanan terhadap infeksi yang menyebabkan kerusakan pada jaringan periodontal.

Periodontitis pada diabetes mellitus tipe I nampak setelah umur 12 tahun. Prevalensi periodontitis dilaporkan sebanyak 9,8% pada usia 13-18 tahun, dan meningkat sampai 39% pada usia 19 tahun dan diatasnya.

Literature untuk pernyataan ini dan pengaruh secara keseluruhan terhadap fakta tentang adanya penyakit periodontal pada diabetes mellitus tidak konsisten atau merupakan pola yang nyata. Inflamasi gingival tingkat lanjut, poket periodontal yang sangat dalam, kehilangan tulang yang cepat, dan abses periodontal sering terdapat pada pasien diabetes mellitus yang memiliki oral hygiene yang buruk (lihat gambar 12-1). Anak-anak dengan diabetes mellitus tipe I cenderung memiliki destruksi yang lebih parah di sekitar M1 dan insisivus daripada di sekitar gigi yang lain, tetapi destruksi ini menjadi lebih luas seiring dengan meningkatnya umur. Pada juvenile diabetic, destruksi periodontal yang luas sering terjadi sehubungan dengan umur pasien.

Peneliti yang lain telah melaporkan adanya rasio destruksi periodontal yang terlihat sama pada pasien diabetes atau tanpa diabetes, sampai usia 30 tahun. Setelah usia 30 tahun, terdapat derajat destruksi yang lebih parah pada pasien diabetes. Hal ini dapat dihubungkan dengan adanya penyakit destruktif pada saat itu. Pasien diabetes yang berumur lebih dari10 tahun menunjukkan destruksi yang lebih parah pada struktur periodontal daripada pasien dengan riwayat diabetes kurang dari10 tahun. Hal ini juga berhubungan dengan berkurangnya integritas jaringan yang memburuk seiring dengan waktu. Lihat penjelasan berikut ini tentang perubahan metebolisme kolagen pada diabetes.

Meskipun beberapa penelitian belun menemukan hubungan antara stadium diabetic dengan kondisi periodontal, studi yang terkontrol menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dan keparahan penyakit periodontal pada penderita diabetes daripada yang tidak menderita diabetes, dengan factor local yang sama. Penemuan termasuk loss of attachment yang lebih parah, meningkatnya bleeding on probing, dan meningkatnya mobilitas gigi ( gambar 12-1). Perbedaan derajat diabetes pada penderita dan control pada penderita dan keparahan penyakit mengindikasikan sample pasien bertanggung jawab terhadap kurangnya konsistensi ini.

Penelitian terbaru menyatakan bahwa diabetes yang tidak terkontrol atau kurang berhubungan dengan meningkatnya kerentanan dan keparahan terhadap infeksi termasuk periodontitis. Diabetes tidak menyebabkan gingivitis atau poket periodontal, tetapi terdapat indikasi bahwa dia dapat merubah respon jaringan periodontal terhadap factor local (lihat gambar 12-1, A dan B), mempercepat bone loss dan memperlambat penyembuhan setelah pembedahan pada jaringan periodontal. Abses periodontal yang sering terjadi merupakan gejala penyakit periodontal yang terlihat pada penderita diabetes.

Sekitar 40% orang dewasa Pima India pada daerah Arizona menderita diabetes tipe 2. Perbandingan antara individu dengan atau tanpa diabetes pada suku bangsa Native Amerika menunjukkan peningkatan yang nyata pada prevalensi destruktif periodontitis, sebanyak 15% peningkatan pada edentulous, pada individu dengan diabetes. Resiko berkembangnya periodontitis destruktif meningkat sebanyak 3 kali lipat pada individu ini.

Bakteri Patogen

Pada pasien dengan riwayat diabetes, cairan gingival dan darah mengandung lebih banyak glukosa daripada yang tidak terkena, dengan skor indeks plak dan gingival yang sama. Peningkatan glukosa dalam cairan gingival dan darah pada pasien dengan riwayat diabetes dapat merubah lingkungan mikroflora, merangsang perubahan kualitatif pada bakteri yang dapat memperparah penyakit periodontal pada pasien diabetes yang kurang terkontrol.

Pasien diabetes tipe I dengan periodontitis telah dilaporkan memiliki flora subgingiva yang terdiri dari Capnocytophaga, vibrios anaerob, dan spesies Actinomyces. Porphyromonas gingivalis, Prevotella intermedia, dan Actinobacillus actinomycetecomitans, dimana lesi periodontal pada individu tanpa diabetes terlihat jarang. Pada penelitian lain, ditemukan sedikit Capnocythopaga, dan banyak Actinobacillus actinomycetecomitans dan Bacteriocides berpigmen hitam, Prevotella intermedia, P. melaninogenica, dan Campylobacter rectus. Spesies berpigmen hitam, terutama Porphyromonas gingivalis, Prevotella intermedia ,dan Campylobacter rectus banyak terdapat pada lesi periodontal suku Pima India dengan diabetes tipe 2. Hal ini menyebabkan perubahan flora pada poket periodontal pasien diabetes. Peranan utama dari bakteri ini belum ditentukan.


Sabtu, 25 Juli 2009

DETEKSI DINI KETIDAKSEIMBANGAN OTOT OROFASIAL PADA ANAK

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gigi perlu dirawat sejak dini agar anak tidak mengalami gangguan tumbuh kembang gigi, di samping mempertahankan keadaan gigi yang normal, sehingga saat dewasa memperoleh oklusi gigi yang harmonis, fungsional, dan estetis. Oklusi adalah hubungan kontak antara gigi geligi bawah dengan gigi geligi atas waktu mulut ditutup. Oklusi dikatakan normal, jika susunan gigi dalam lengkung geligi teratur baik serta terdapat hubungan yang harmonis antara gigi atas dengan gigi bawah, hubungan seimbang antara gigi dan tulang rahang terhadap tulang tengkorak dan otot di sekitarnya, serta ada keseimbangan fungsional sehingga memberikan estetitika yang baik. Dalam tahap pertumbuhan gigi dan perkembangan oklusi, khususnya periode transisi pergantian gigi sulung ke gigi permanen, banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan lengkung gigi (Hayati, 2001).

Jika gigi tidak dirawat dengan baik, maka akan menyebabkan maloklusi. Maloklusi adalah kondisi oklusi intercuspal dalam pertumbuhan gigi diasumsikan sebagai kondisi yang tidak reguler (Anindita, 2008). Maloklusi bukan penyakit melainkan keadaan morfologik yang menyimpang dari oklusi normal (Hayati, 2001). Maloklusi umum terjadi pada populasi dunia. Hasil penelitian menunjukkan sepertiga populasi dunia memiliki oklusi normal sedangkan sisanya memiliki berbagai tingkatan maloklusi (Primarti, 2007).

Perkembangan normal dentofasial tergantung pada fungsi normal otot sekitar mulut. Keseimbangan antara otot bibir, pipi dan lidah perlu dipelihara. Adanya ketidakseimbangan antara ketiga otot orofasial tersebut akan mempengaruhi perkembangan struktur dentofasial. Deteksi dini ketidakseimbangan otot orofasial pada anak sangat diperlukan sebagai upaya pencegahan maloklusi (Primarti, 2007).

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi otot-otot orofasial

2.1.1 Tahap pertumbuhan (Lee,2006)

Lidah mencapai pertumbuhan sempurna hingga usia 8 tahun.Maksila mencapai pertumbuhan sempurna hingga usia 8 tahun, dengan residual growth sekitar umur 12 tahun, ketika pertumbuhan telah selesai.Mandibula dapat tumbuh sempurna pada usia 8-10 tahun, sampai melewati prepubertal atau pubertal growth spurt. Beberapa diantara nya terus tumbuh hingga usia 20 tahun.Tonsil dan adenoid mencapai pertumbuhan maksimal pada usia 9-12 tahun, kemudian terjadi atropi.

2.1.2 Otot-otot bibir dan pipi

1. Otot spincter bibir (Lee,2006)

Otot spincter bibir adalah orbicularis oris yang membentuk sebagian jaringan pada bibir. Memiliki koneksi yang luas terhadap muskulus-muskulus yang terdapat dalam rongga mulut.

­ Origo dan insersio (Snell,1991)

Serat-serat berjalan melingkari orificium oris di dalam substansi bibir. Beberapa serat berawal di tengah garis maxilla dan berjalan serong ke membran mukosa permukaan dalam bibir. Umumnya serat-serat ini berasal dari muskulus buccinator.

­ Persarafan (Snell,1991)

Cabang bukal dan mandibular n.fasialis

­ Fungsi (Snell,1991)

Merapatkan bibir

2. Otot dilator bibir (Snell,1991)

a. M.levator labii superior

b. M.zygomaticus mayor dan minor

c. M.levator anguli oris

d. M.risorius

e. M.depressor anguli oris

f. M.depressor labii inferior

g. M.mentalis

3. Otot pipi (Lee,2006)

gigi 3Muskulus buccinator berada di maksila dan mandibula pada daerah molar dan masuk kedalam muskulus-muskulus di dekitar sudut mulut. Membentuk sebagian besar dinding lateral pipi. Menyimpan makanan di dalam rongga mulut pada saat proses mastikasi. Muskulus buccinator diinervasi oleh cabang bukal nervus fasialis dan mendapat suplai darah dari maksila dan arteri fasial.

2.1.1 Otot pengunyah (Snell,1991)

Yang termasuk otot pengunyah adalah masseter, temporalis, pterygoideus lateralis dan medialis

a. Muskulus masseter

Masseter adalah salah satu otot yang paling kuat dilihat dari ukurannya pada tubuh. Terdapat pada bagian lateral arcus zigomaticus dan memasuki angulus mandibula. Fungsi muskulus masseter adalah mengangkat mandibula untuk merapatkan bibir waktu mengunyah.

b. Muskulus temporalis

Fungsi muskulus temporalis adalah mengangkat mandibula dan mengembalikan posisi mendibula

c. Muskulus pterygoideus lateralis

Fungsi muskulus pterygoideus lateralis adalah menarik collum mandibula ke depan

d. Muskulus pterygoideus medialis

Fungsi muskulus pterygoideus medialis adalah mengangkat mandibula

2.1.2 Otot-otot lidah (Lee,2006)

Otot-otot lidah terdiri dari 2 yaitu

1. Otot-otot intrinsik lidah

a. Muskulus genioglossus

Berfungsi menarik lidah ke depan dan menjulurkan ujung lidah ke sisi yang berlawanan. Bila kedua otot berkontraksi bersama, lidah akan menjulur bersama. Otot ini juga mendepresi lidah

b. Muskulus styloglossus

Berfungsi menarik lidah ke atas dan ke belakang

c. Muskulus palatoglossus

Berfungsi menarik radix linguae ke atas dan ke belakang

d. Muskulus hyoglossus

Berfungsi untuk depresi lidah

2. Otot-otot ekstrinsik lidah

Otot-otot ekstrinsik lidah terdiri dari muskulus vertikal, musculus transversal, dan muskulus longitudinal superior dan inferior

gigi 5Otot –otot ekstrinsik lidah Otot –otot intrinsik lidah

2.1 Otot orofasial yang seimbang

Keseimbangan otot orofasial dapat dideteksi dari pola penelanan yang benar dan posisi lidah pada saat istirahat.

Pola penelanan yang normal adalah (Primarti, 2007)

· Ujung lidah diletakkan di belakang gigi insisif rahang atas

· Bagian lidah terangkat sehingga berkontak dengan palatum durum

· Bagian belakang lidah membentuk posisi 45 derajat terhadap dinding pharing

· Sejalan dengan aktivitas otot lidah, otot masseter dan buccinator menekan ke arah midline

· Otot orbicularis oris menekan gigi insisif atas ke arah posterior

Posisi lidah normal pada saat istirahat

Ketika tidak melakukan aktivitas berbicara, mengunyah dan menelan maka posisi lidah yang normal berada di dalam rongga mulut (anonymous, 2007).

2.2 Definisi gangguan otot orofasial

Gangguan otot orofasial didefinisikan sebagai fungsi yang abnormal dari otot wajah dan rongga mulut. Gangguan tersebut melibatkan kombinasi antara bibir yang abnormal, rahang, posisi lidah selama istirahat, menelan, atau berbicara dan atau adanya kebiasaan buruk yang abnormal Pada gangguan tersebut, lidah bergerak ke depan berada diantara gigi insisif atas dan bawah pada saat berbicara, menelan dan istirahat (ASHA, 2006). Definisi lain adalah adanya kelainan anatomis atau fisiologis pada struktur fasial dan rongga mulut yang berhubungan dengan otot-otot maksila dan mandibula serta aspek dental dan skeletal wajah. Prevalensi gangguan otot orofasial banyak terdapat pada bayi yang baru lahir, 50% pada anak-anak usia 1 tahun, dan prevalensi menurun secara bertahap dan inkonsisten pada masa kanak-kanak tetapi konsisten pada masa remaja dan dewasa sebanyak 30%. Pada populasi umum terdapat prevalensi sebesar 30-40% (Lee,2002). Komponen paling utama pada gangguan otot orofasial adalah lidah bagian depan dan posisi mulut yang terbuka pada saat istirahat (Comrie). Penempatan ujung lidah saat istirahat merupakan gejala awal yang harus diperhatikan (Primarti, 2007).

2.3 Etiologi

Sebuah studi menunjukkan bahwa faktor herediter dapat menentukan ukuran rongga mulut anak, susunan dan jumlah gigi geligi, kekuatan bibir, lidah, mulut, dan otot-otot fasial (ASHA,2006). Beberapa masalah yang berkaitan dengan fungsi rongga mulut dan otot-otot wajah disebabkan karena faktor lingkungan seperti alergi. Pada anak-anak yang memiliki riwayat alergi, sulit untuk bernafas dengan normal melalui hidung karena jalan udara tertutup. Anak-anak tersebut cenderung bernafas melalui mulut, lidah terletak mendatar di dasar mulut. Otot-otot bibir akan kehilangan kekuatan jika hal tersebut bertahan dalam waktu yang lama(ASHA,2006).

Pembesaran tonsil dan adenoid juga dapat memblokir jalan masuk udara, yang menyebabkan bernafas melalui mulut. Hal tersebut dapat menjadi kebiasaan dan berlanjut walaupun telah dilakukan terapi pemblokiran jalan masuk udara. Selain itu, juga dapat disebabkan oleh kebiasaan buruk seperti menghisap jempol atau jari, menggigit bibir atau kuku. Menghisap jari dapat merubah bentuk gigi serta rahang, yang dapat berefek pada bicara, gigi geligi, dan ortodontik. Efek tersebut tergantung dari frekwensi dan durasi kebiasaan itu dilakukan( anonymous, 2007).

2.4 Mendeteksi ketidakseimbangan otot orofasial pada anak (Primarti, 2007)

1. Penempatan posisi lidah yang salah

Penempatan ujung lidah saat menelan merupakan tanda awal yang harus diperhatikan. Lidah diletakkan terlalu ke anterior, berada diantara gigi insisif atas dan bawah di dalam rongga mulut. Penempatan posisi lidah yang salah jika dibiarkan akan menyebabkan pola penelanan menjadi abnormal

2. Pola penelanan yang salah

Penempatan ujung lidah diantara gigi insisif atas dan bawah saat penelanan disebut tongue thrust. Penempatan posisi lidah yang salah akan menahan bibir bawah berkontak dengan gigi atas. Akibatnya akan menghalangi fungsi otot orbicularis oris sebagai penahan stabilisasi, sehingga otot tersebut menjadi lemah.

3. Kebiasaan mulut yang buruk

Kebiasaan mulut merupakan proses pembelajaran kontraksi otot dan proses alami yang kompleks. Kebiasaan mulut normal merupakan bagian fungsi dentofasial yang berperan penting terhadap pertumbuhan normal wajah dan fisiologi oklusal. Kebiasaan mulut yang buruk yang dilakukan anak –anak akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan dentofasial. Kebiasaan mulut yang buruk yang sering terjadi pada anak adalah menghisap jari atau menggigit bibir.

4. Bernafas melalui mulut

Anak yang bernafas melalui mulut dapat disebabkan oleh alergi, tonsil dan adenoid. Anak tersebut cenderung untuk menempatkan posisi lidah dibawah dasar mulut untuk memudahkan aliran udara. Penempatan posisi lidah dibawah dasar mulut menyebabkan palatum menjadi sempit, sehingga lidah cenderung untuk ke depan atau ke samping diantara gigi atas dan bawah.

5. Oklusi yang buruk

Oklusi yang buruk dapat disebabkan oleh adanya keausan oklusal, kerusakan gigi akibat karies, atau hilangnya gigi karena pencabutan. Keadaan tersebut menyebabkan hilangnya kontak antara gigi atas dan bawah. Apabila terjadi kehilangan kontak di gigi posterior, maka lidah akan menempati ruang tersebut. Akibatnya adalah terjadi kegagalan fungsi otot masseter dan buccinator.

6. Tonus bibir yang tidak adekuat

Bibir atas dan bawah tetap berkontak dalam keadaan istirahat. Fungsi bibir tersebut berperan sebagai penahan untuk gigi anterior. Relasi bibir atas dan bawah yang terbuka pada saat istirahat menunjukkan adanya ketidakseimbangan otot orofasial.

7. Kelainan anatomi lidah

Adanya ankilosis, makroglosia dan ikatan frenulum yang rendah akan mengganggu proses penelanan.

2.5 Akibat gangguan otot orofasial (Lee, 2006)

1. Anterior open bite

Arcus dentalis bagian depan terbuka, sedangkan oklusi molar baik

gigi 10

2. Bilateral open bite

Open bite terjadi pada kedua sisi lengkung geligi

gigi 10

3. Bilateral open bite/ forward tongue placement

gigi 12

Efek pada perkembangan oral / fasial :

1) lidah

2) dagu dan pipi

3) bibir

4) palatum

gigi 13Low facial tone/ bibir terpisah

Pipi menunjukkan low tone, bibir atas lebih panjang, bibir bawah lebih pendek

Low facial tone/ muka panjang

gigi 14Otot yang tidak digunakan menjadi atropi,lose tone dan fungsinya tidak efektif

Bibir dan mulut terbuka/ Low facial tone/ lidah maju ke depan selama menelan

gigi 15

Efek pada lidah dan palatum (anonymous, 2006)

1. Gangguan artikulasi

Riset menunjukkan adanya insiden yang tinggi pada distorsi huruf s. Selain itu juga dapat terjadi distorsi huruf yang lain seperi sh, ch,j,z,t,d,l,n, dan r.

2. Masalah pada gigi

Tongue thrust dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan gigi geligi

2.6 Terapi

Terapi yang dilakukan terfokus pada lidah dan posisi pada saat istirahat, menelan dan artikulasi berbicara. Terapi itu disebut myofunctional terapy atau orofacial myology yaitu terapi yang diberikan pada gangguan otot orofasial, pola penelanan yang salah, disfungsi otot TMJ dan atau eliminasi bruxism, atau kebiasaan menggigit. Otot-otot utama yang menjadi sasaran adalah temporalis, masseter, pterigoid, buccinator, orbicularis oris dan mentalis. Oral myofunctional terapy akan melatih dan merangsang untuk menghilangkan kebiasaan buruk dan memperkuat fungsi otot-otot rongga mulut. Pasien memerlukan waktu 5-10 menit perhari selama 5-7 hari. Tujuan dari terapi ini adalah mendapatkan posisi istirahat yang normal, berbicara dengan jelas, dan pola penelanan yang benar (Moeler, 2008).


BAB III. PEMBAHASAN

Rongga mulut merupakan salah satu organ tubuh penting yang perkembangannya telah sempurna sejak lahir. Hal tersebut berguna untuk mendapatkan makanan dan berkontak dengan lingkungan sekitarnya. Aktivitas rongga mulut adalah penelanan, mastikasi, bicara dan pernafasan. Aktivitas rongga mulut akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan struktur dentofasial pada anak. Maturasi fungsi oral terlihat dari perubahan pola infantil menjadi dewasa. Otot yang bekerja pada pola penelanan infantil adalah lidah, mandibula dan otot fasial(Primarti, 2007). Aktivitas pola penelanan dewasa dikontrol oleh otot pengunyahan, yaitu otot temporalis, masseter, pterigoid lateral dan medial, digastrikus serta geniohyoid (Snell,1991)

Penelanan merupakan aktivitas yang dilakukan terus-menerus selama 24 jam. Tiga otot yang berperan adalah otot lidah, masseter, buccinator dan orbicularis oris (Snell,1991). Ketiga otot tersebut harus dalam keadaan seimbang saat fungsi.

Adanya kebiasaan mulut yang buruk, kelainan anatomi lidah, pola penelanan yang salah, oklusi yang buruk dapat merubah keseimbangan ketiga otot tersebut. Hal tersebut sering diakibatkan oleh penempatan posisi lidah yang salah (Lee, 2006). Penempatan posisi lidah yang salah atau adanya kebiasaan mulut yang buruk menyebabkan posisi lidah berada di bawah dan di depan. Tekanan lateral akan menyebabkan palatum menjadi sempit. Palatum yang sempit mempengaruhi bentuk lengkung rahang sehingga akan mengganggu erupsi gigi geligi serta perubahan pola fungsi otot sehingga terjadi maloklusi (Primarti, 2007).

Deteksi dini adanya ketidakseimbangan otot terutama sebelum anak mencapai usia 4-5 tahun atau sebelum erupsi gigi permanennya akan terjadi koreksi alamiah palatum. Hal tersebut mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan dentofasial kembali normal (Primarti, 2007).

Dokter gigi mempunyai peluang untuk mendeteksi adanya ketidakseimbangan otot orofasial pada anak. Oleh karena itu, dokter gigi dapat memberikan kontribusi untuk melakukan tindakan preventif terjadinya maloklusi pada anak (Primarti, 2007).


BAB IV. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan diatas, keseimbangan otot orofasial yang terdiri dari otot lidah, masseter, buccinator dan orbicularis oris berperan dalam perkembangan kompleks dentofasial. Ketidakseimbangan otot orofasial ditandai dengan adanya penempatan posisi lidah yang salah saat istirahat, pola penelanan yang salah, kelainan anatomi lidah.

Dokter gigi dapat mendeteksi adanya ketidakseimbangan otot orofasial pada anak sebagai salah satu upaya pencegahan maloklusi.


DAFTAR PUSTAKA

Anindita.2008. Oklusi Normal Versus Maloklusi. www.toothclub.gov.hk

Anonymous. 2006. Speech Condition and Diagnoses : Orofacial Myofunctional Disorders (OMD). Avenue : Clincimate Childrens Hospital Medical Center

ASHA.2006. Orofacial Myofunctional Disorders (OMD). www.w3c.org

Comrie, Joan. Oral Myofunctional Disorders. www.feeding.org

Hayati, Retno. 2001.Kebiasaan Buruk Sebabkan Gigi Tumbuh Berjejal. www.gizi. Net

Lee, Marsha. 2004. Orofacial Myofunctional Disorders : The ABCs for SLPs

Moeller, Joy.2008. The Critical Missing Element to Complete Care : Where Orthodontics and Orofacial Myofunctional Therapy Meet. www. Myofunctional-Therapy.com

Oral Myofunctional Therapy in San Diego. 2006. www.County-Speech.com

Primarti, Risti S. 2007. Deteksi Dini Ketidakseimbangan Otot Orofasial Pada Anak. Jurnal PDGI, Edisi Khusus PIN IKGA. Jakarta : PDGI

Snell, 1991. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Alih Bahasa Jan Tambajong dari Clinical Anatomy For Medical Students. Jakarta : EGC